안넝today, i wana publish about Kesulitan Belajar. Nah,, kesulitan belajar itu kan banyak, tapi saya hanya fokus tentang Learning Disfunction.
Happy reading chinggu,, semoga artikel ini bermanfaat ^_^
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kondisi belajar
adalah suatu keadaan yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar siswa.
Definisi yang lain tentang kondisi belajar adalah suatu keadaan yang mana
terjadi aktivitas pengetahuan dan pengalaman melalui berbagai proses pengolahan
mental. Kondisi belajar juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang harus
dialami siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar. Terjadinya belajar pada
manusia dapat disimpulkan bila terdapat perbedaan dalam penampilan atau kinerja
manusia sebelum dan sesudah ia di tempatkan pada situasi belajar.
Alam kegiatan
pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa
yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara
lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit
pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar siswa
ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil
belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga
pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di
bawah semestinya.
Kesulitan belajar siswa mencakup pengetian yang luas, diantaranya: (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c)
underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning disabilities. Namun
pembahasan kali ini akan lebih mengarah ke learning
disfunction.
1.2 Rumusan Masalah
- Apa yang dimaksud dengan learning dissfunctions ?
- Bagaimanakah cirri-ciri learning dissfunctions ?
- Bagaimanakah gejala learning dissfunctions ?
- Bagaimanakah dampak learning dissfunctions ?
- Bagaimana cara mengatasi learning disfunctons ?
1.3 Tujuan
- Untuk mengetahui pengertian learning disfunctions.
- Untuk mengetahui cirri-ciri learning dissfunctions.
- Untuk mengetahui gejala learning dissfunctions.
- Untuk mengetahui dampak learning dissfunctions.
- Untuk mengetahui cara mengatasi yang berkaitan dengan learning disfunctions.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Learning Disfunctions
Learning Disfunction merupakan gejala
dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik,
meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas
mental, atau gangguan psikologis lainnya. Gangguan belajar ini
berupa gejala proses belajar yang tidak berfungsi dengan baik karena adanya
gangguan syaraf otak sehingga terjadinya gangguan pada salah satu tahap dalam
proses belajarnya. Kondisi semacam ini mengganggu kelancaran proses belajar
secara keseluruhan.
2.2
Ciri – ciri Tingkah Laku Learning Disfunctions
Ciri-ciri
tingkah laku yang merupakan manifestasi dari kesulitan belajar dari Learning
disfunction, antara lain:
1. Hasil belajar yang rendah, dibawah
rata-rata dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
2. Lambat dalam melaksanakan tugas kegiatan
belajar (akademik) dan perkembangan (development).
3. Menunjukkan sikap (personality), tingkah
laku, cara pikir dan gejala emosional yang kurang wajar dalam proses belajar.
4. Tidak setara antara IQ dan prestasi atau
antara prestasi kecakapan (kepandaian) dengan hasil perfect yang mestinya
dicapai.
2.3
Gejala Learning Disfunctions
Gejala
Beberapa peilaku yang merupakan manisfestasi gejala kesulitan belajar untuk learning disfunctions, antara lain:
1. Menunjukkan hasil belajar yang rendah di
bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau dibawah potensi yang
dimilikinya.
2. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan
usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa yang sudah berusaha giat belajar,
tapi nilai yang diperolehnya selalu rendah.
3. Lambat dalam melakukan tugas-tugas
kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang
disediakan.
4. Menunjukkan sikap-sikap yang tidak
wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya.
5. Menunjukkan perilaku yang berkelainan,
seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah,
mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak
teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya.
6. Menunjukkan gejala emosional yang kurang
wajar, seperti: pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira
dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah,
tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.
Sementara itu, Burton
(Abin Syamsuddin. 2003) mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan
belajar, yang ditunjukkan oleh adanya kegagalan siswa dalam mencapai
tujuan-tujuan belajar. Menurut dia bahwa siswa dikatakan gagal dalam belajar
apabila :
1. Dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan
tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi
(mastery level) minimal dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh
guru (criterion reference).
2. Tidak dapat mengerjakan atau mencapai
prestasi semestinya, dilihat berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau
kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam under
achiever.
3. Tidak berhasil tingkat penguasaan materi
(mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat
pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam slow learner atau
belum matang (immature), sehingga harus menjadi pengulang (repeater)
Untuk dapat menetapkan
gejala kesulitan belajar dan menandai siswa yang mengalami kesulitan belajar,
maka diperlukan kriteria sebagai batas atau patokan, sehingga dengan kriteria
ini dapat ditetapkan batas dimana siswa dapat diperkirakan mengalami kesulitan
belajar. Terdapat empat ukuran yang dapat menentukan kegagalan atau kemajuan
belajar siswa: (1) tujuan pendidikan; (2) kedudukan dalam kelompok; (3) tingkat
pencapaian hasil belajar dibandinngkan dengan potensi; dan (4) kepribadian.
a. Tujuan pendidikan
Dalam keseluruhan
sistem pendidikan, tujuan pendidikan merupakan salah satu komponen pendidikan
yang penting, karena akan memberikan arah proses kegiatan pendidikan. Segenap
kegiatan pendidikan atau kegiatan pembelajaran diarahkan guna mencapai tujuan
pembelajaran. Siswa yang dapat mencapai target tujuan-tujuan tersebut dapat
dianggap sebagai siswa yang berhasil. Sedangkan, apabila siswa tidak mampu
mencapai tujuan-tujuan tersebut dapat dikatakan mengalami kesulitan belajar.
Untuk menandai mereka yang mendapat hambatan pencapaian tujuan pembelajaran,
maka sebelum proses belajar dimulai, tujuan harus dirumuskan secara jelas dan
operasional. Selanjutnya, hasil belajar yang dicapai dijadikan sebagai tingkat
pencapaian tujuan tersebut. Secara statistik, berdasarkan distribusi normal,
seseorang dikatakan berhasil jika siswa telah dapat menguasai
sekurang-kurangnya 60% dari seluruh tujuan yang harus dicapai. Namun jika
menggunakan konsep pembelajaran tuntas (mastery learning) dengan menggunakan
penilaian acuan patokan, seseorang dikatakan telah berhasil dalam belajar
apabila telah menguasai standar minimal ketuntasan yang telah ditentukan
sebelumnya atau sekarang lazim disebut Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).
Sebaliknya, jika penguasaan ketuntasan di bawah kriteria minimal maka siswa
tersebut dikatakan mengalami kegagalan dalam belajar. Teknik yang dapat
digunakan ialah dengan cara menganalisis prestasi belajar dalam bentuk nilai
hasil belajar.
b. Kedudukan dalam Kelompok
Kedudukan seorang siswa dalam kelompoknya akan menjadi ukuran dalam
pencapaian hasil belajarnya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar,
apabila memperoleh prestasi belajar di bawah prestasi rata-rata kelompok secara
keseluruhan. Misalnya, rata-rata prestasi belajar kelompok 8, siswa yang
mendapat nilai di bawah angka 8, diperkirakan mengalami kesulitan belajar.
Dengan demikian, nilai yang dicapai seorang akan memberikan arti yang lebih
jelas setelah dibandingkan dengan prestasi yang lain dalam kelompoknya. Dengan
norma ini, guru akan dapat menandai siswa-siswa yang diperkirakan mendapat
kesulitan belajar, yaitu siswa yang mendapat prestasi di bawah prestasi kelompok
secara keseluruhan. Secara statistik, mereka yang diperkirakan mengalami
kesulitan adalah mereka yang menduduki 25 % di bawah urutan kelompok, yang
biasa disebut dengan lower group. Dengan teknik ini, kita mengurutkan siswa
berdasarkan nilai nilai yang dicapainya. dari yang paling tinggi hingga yang
paling rendah, sehingga siswa mendapat nomor urut prestasi (ranking). Mereka
yang menduduki posisi 25 % di bawah diperkirakan mengalami kesulitan belajar.
Teknik lain ialah dengan membandingkan prestasi belajar setiap siswa dengan
prestasi rata-rata kelompok. Siswa yang mendapat prestasi di bawah rata – rata
kelompok diperkirakan pula mengalami kesulitan belajar.
c. Perbandingan antara potensi dan prestasi
Prestasi belajar yang dicapai seorang siswa akan tergantung dari tingkat
potensinya, baik yang berupa kecerdasan maupun bakat. Siswa yang berpotensi
tinggi cenderung dan seyogyanya dapat memperoleh prestasi belajar yang tinggi
pula. Sebaliknya, siswa yang memiliki potensi yang rendah cenderung untuk memperoleh
prestasi belajar yang rendah pula. Dengan membandingkan antara potensi dengan
prestasi belajar yang dicapainya kita dapat memperkirakan sampai sejauhmana
dapat merealisasikan potensi yang dimikinya. Siswa dikatakan mengalami
kesulitan belajar, apabila prestasi yang dicapainya tidak sesuai dengan potensi
yang dimilikinya. Misalkan, seorang siswa setelah mengikuti pemeriksaan
psikologis diketahui memiliki tingkat kecerdasan (IQ) sebesar 120, termasuk
kategori cerdas dalam skala Simon & Binnet. Namun ternyata hasil belajarnya
hanya mendapat nilai angka 6, yang seharusnya dengan tingkat kecerdasan yang
dimikinya dia paling tidak dia bisa memperoleh angka 8. Contoh di atas
menggambarkan adanya gejala kesulitan belajar, yang biasa disebut dengan
istilah underachiever.
d. Kepribadian
Hasil belajar yang dicapai oleh seseorang akan tercerminkan dalam seluruh
kepribadiannya. Setiap proses belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan
dalam aspek kepribadian. Siswa yang berhasil dalam belajar akan menunjukkan
pola-pola kepribadian tertentu, sesuai dengan tujuan yang tujuan pembelajaran
yang telah ditetapkan. Siswa diakatan mengalami kesulitan belajar, apabila
menunjukkan pola-pola perilaku atau kepribadian yang menyimpang dari
seharusnya, seperti : acuh tak acuh, melalaikan tugas, sering membolos,
menentang, isolated, motivasi lemah, emosi yang tidak seimbang dan sebagainya.
2.4
Dampak Learning Disfunctions
Masalah Kesulitan
belajar learning disfunction memiliki dampak pada beberapa aspek, seperti:
a. Pendidikan
Kesulitan
belajar learning disfunction berdampak pada masalah pendidikan, yaitu adanya
Masing-masing kasus dikenal sebagai anak yang pandai, memiliki pengetahuan umum
yang luas, mudah dalam menangkap pelajaran dan cepat dalam menyelesaikan
tugas-tugas akademik yang diberikan, namun disisi lain disamping dikenal
memiliki kegagalan khusus dalam membaca atau juga cenderungmemiliki sikap-sikap
belajar yang kurang mendukung upaya pencapaian prestasi yang baik seperti:
malas, menyepelekan tugas, cepat bosan, kurang memperhatikan pelajaran,
akibatnya secara umum prestasinya rendah dibandingkan dengan potensi yang
dimilikinya.
b. Penyesuaian sosial
Secara
sosial cenderung kurang mampu menjalin relasi sosial yang memuaskan dengan
lingkungannya yang ditandai dengan gejala kurang kooperatif, pendiam, dan
menarik diri. Dan mereka tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan secara
baik.
c. Emosional
Secara
psikologis memiliki kesenjangan yang cukup signifikan antara skor test
kemampuan verbal dan performen, memiliki daya tangkap yang bagus, imajinatif
tinggin, cepat dalam menyelesaikan persoalan tetapi cenderung
hiperatif,emosional, terburu-buru, kurang pertimbangan, malas, mudah frustasi,
serta menolak dengan berbagai alasan.
d. Kondisi neurologis
Gangguan
motorik dan psikologis (gangguan persepsi atau konsentrasi) merupakan faktor
dominan yang melatar belakangi munculnya kegagalan dalam penguasaan
keterampilan dasar belajar anak yang memiliki kelebihan diatas rata-rata.
Akibat kondisi tersebut anak kurang mampu menguasai keterampilan prasyarat
belajar akademik yang dibutuhkan. Kondisi tersebut dapat berdiri
sendiri-sendiri atau muncul sebagai rangkaian sebab akibat. Tak jarang masalah
yang timbul dari learning disfunction pada aspek emosional, yaitu: Tidak bisa mengontrol
emosi dengan baik. Tidak dapat mengelola emosi dengan baik. Emosional yang
tidak wajar, seperti: pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang
gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai
rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.
e. Ekonomi
Masalah yang
timbul dari learning disfunction pada aspek ekonomi adalah orang yang kesulitan
belajar (learning disfunction) dibawah rata-rata dengan orang yang tidak
mengalami kesulitan belajar. Karena kebanyakan orang yang mengalami learning
disfunction jarang bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan tepat.
Tetapi tak jarang ekonomi orang learning disfunction ini dapat diatas rata-rata
orang yang normal jika mereka maupun orang sekitar mereka mengetahui bakat
mereka dan mendukung mereka.
Contoh Learning
Disfunctions
Beberapa contoh
kejadian yang berkaitan dengan learning
disfunctions diantaranya :
1. siswa
yang yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi
atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka
dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.
2. siswa yang memiliki postur yang tinggi,
aletis, dan sangat cocok menjadi atlet sepak bola, namun karena tidak pernah
dilatih bermain sepak bola, maka dia tidak dapat menguasai permainan sepak bola
dengan baik.
2.5
Cara
Mengatasi Learning Disfunctions
Adakalanya jika suatu keadaan memerlukan suatu pemecahan
masalah. Dalam mengatasi learning
disfunctions diantaranya:
a.
Jangan pernah membandingkan
antara satu anak dengan yang lainnya, setiap
anak berbeda, baik dari segi kecepatan belajar, gaya belajar, maupun pencapaian
hasil atau lain-lain yang berhubungan dengan proses anak menyerap ilmu atau
pelajaran yang diberikan.
b.
Rangsang, bukan "ajarkan", anak untuk
mengembangkan berbagai aspek kemampuan, terutama kreativitasnya. Persepsikan
bahwa sekecil apa pun kreativitasnya adalah hal yang sangat positif, baik buat
dirinya maupun lingkungan di sekitarnya.
c.
Tularkan tentang pemahaman-pemahaman moral dan
indahnya bersosialisasi di luar lingkup sehari-hari si anak. Ingat, Anda hanya
"menularkan", bukan mengajarinya bersosialisasi, saling menghargai,
atau menghormati sesama individu. Alhasil, aksi nyata berupa contoh-contoh
sikap dan perilaku sangat diperlukan, dan itu semua harus dimulai dari diri
Anda sebagai orangtua atau pendidik.
d.
Fokuskan pada proses dan penugasan ketimbang perolehan
hasil. Perlu diingat, bahwa hasil yang optimal akan dicapai oleh si anak saat
mereka menguasai kemampuan yang memang dibutuhkannya.
e.
Kenali berbagai kebutuhan mereka tersebut lewat
aktivitas, hobi, atau kegemarannya. Dari sinilah orangtua atau pendidik mudah
mengenali potensi yang dimiliki guna melihat perkembangan yang lebih optimal.
Cara lain
dapat di tempuh melalui bimbingan belajar. Bimbingan belajar merupakan upaya guru untuk membantu siswa
yang mengalami kesulitan dalam belajarnya. Secara umum, prosedur bimbingan
belajar dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut
1.
Identifikasi kasus
Identifikasi kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa
yang diduga memerlukan layanan bimbingan belajar. Robinson dalam Abin
Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan
untuk mendeteksi siswa yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan belajar, yakni
:
a)
Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua siswa secara
bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar
membutuhkan layanan bimbingan.
b)
Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga
tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat
dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan
kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler,
rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
c)
Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang
menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan masalah yang dihadapinya. Misalnya
dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang bersangkutan tentang hasil dari
suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya
untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
d)
Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara
ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang
dihadapi siswa.
e)
Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat
ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial
2.
Identifikasi Masalah
Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik
kesulitan atau masalah yang dihadapi siswa. Dalam konteks Proses Belajar
Mengajar, permasalahan siswa dapat berkenaan dengan aspek : (a) substansial –
material; (b) struktural – fungsional; (c) behavioral; dan atau (d)
personality. Untuk mengidentifikasi masalah siswa, Prayitno dkk. telah
mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah siswa, dengan apa yang
disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk
mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi siswa, seputar aspek : (a) jasmani
dan kesehatan; (b) diri pribadi; (c) hubungan sosial; (d) ekonomi dan keuangan;
(e) karier dan pekerjaan; (f) pendidikan dan pelajaran; (g) agama, nilai dan
moral; (h) hubungan muda-mudi; (i) keadaan dan hubungan keluarga; dan (j) waktu
senggang.
3.
Diagnosis
Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor
penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks
Proses Belajar Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar siswa,
bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton
membagi ke dalam dua bagian faktor – faktor yang mungkin dapat menimbulkan
kesulitan atau kegagalan belajar siswa, yaitu : (a) faktor internal; faktor
yang besumber dari dalam diri siswa itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan
kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi
psikis lainnya; dan (b) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah,
lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan
sejenisnya.
4.
Prognosis
Langkah ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami
siswa masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif
pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan
menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil
keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi
kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang kompeten untuk diminta bekerja sama
menangani kasus – kasus yang dihadapi.
5.
Remedial atau referal (Alih Tangan
Kasus)
Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih
berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan
dan kemampuan guru atau guru pembimbing, pemberian bantuan bimbingan dapat
dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri. Namun, jika
permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan
lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas hanya
membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten.
6.
Evaluasi dan Follow Up
Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan
masalah seyogyanya dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa
pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan
masalah yang dihadapi siswa.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Masalah belajar merupakan salah satu
masalah penting yang timbul pada anak usia sekolah, mencakup masalah yang
timbul saat belajar di sekolah maupun di luar sekolah. Salah satunya adalah
adanya kesulitan belajar yaitu learning
dysfunction. Anak dengan kesulitan belajar mempunyai intelegensi yang
bervariasi. Banyak anak dengan Intellegence Quotient (IQ) umumnya normal bahkan
tinggi mempunyai prestasi belajar yang rendah. Ini disebabkan oleh banyak
faktor seperti motivasi yang kurang, gangguan emosi dan situasi keluarga yang
tidak mendukung. Dampak dari learning
dysfunctions ini dapat terjadi di
berbagai aspek, diantaranya ; 1) Pendidikan, 2) Penyesuaian Sosial, 3)
Emosional, 4) Kondisi Neuologis, 5) Ekonomi. Namun banyak hala juga yang dapat
membantu mengatasi learning disfunctions ini. Jadi pada intinya kesulitan belajar yang
di alami oleh siswa, jangan jadikan sebagai gangguan, tetapi cobalah lebih
mengenal sisi lain dari siswa tersebut.
3.2
Saran
Makalah
ini sangat berguna bagi siapa saja, khususnya siswa/mahasiswa yang mengalami
kesulitan belajar dalam bidang learning
dsifuntions. Makalah ini juga dapat sangat membantu untuk mahasiswa yang
akan menjadi tenaga pengajar nantinya.
Seri Pemandu Pelaksanaan Bimbingan
dan Konseling di Sekolah,(1995), Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Menengah Umum (SMU) Buku IV, Jakarta : IPBI
Siregar Evveline & Nara Hartini.
2010, Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta
: Ghalia Indonesia
Winkel, W.S. (1991), Bimbingan dan
Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta: Gramedia
Don't forget leave comment guys . . . ^_^
0 comments:
Post a Comment