Sunday, March 20, 2016

Learning Disfunction - Psikologi Pendidikan

안넝today, i wana publish about Kesulitan Belajar. Nah,, kesulitan belajar itu kan banyak, tapi saya hanya fokus tentang Learning Disfunction. 
Happy reading chinggu,, semoga artikel ini bermanfaat ^_^



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Kondisi belajar adalah suatu keadaan yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar siswa. Definisi yang lain tentang kondisi belajar adalah suatu keadaan yang mana terjadi aktivitas pengetahuan dan pengalaman melalui berbagai proses pengolahan mental. Kondisi belajar juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang harus dialami siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar. Terjadinya belajar pada manusia dapat disimpulkan bila terdapat perbedaan dalam penampilan atau kinerja manusia sebelum dan sesudah ia di tempatkan pada situasi belajar.
Alam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.
Kesulitan belajar siswa mencakup pengetian yang luas, diantaranya: (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning disabilities. Namun pembahasan kali ini akan lebih mengarah ke learning disfunction.

1.2  Rumusan Masalah

  1. Apa yang dimaksud dengan learning dissfunctions ?
  2. Bagaimanakah cirri-ciri learning dissfunctions ?
  3. Bagaimanakah gejala learning dissfunctions ?
  4. Bagaimanakah dampak learning dissfunctions ?
  5. Bagaimana cara mengatasi learning disfunctons ?


1.3  Tujuan

  1. Untuk mengetahui pengertian learning disfunctions.
  2. Untuk mengetahui cirri-ciri learning dissfunctions.
  3. Untuk mengetahui gejala learning dissfunctions.
  4. Untuk mengetahui dampak learning dissfunctions.
  5. Untuk mengetahui cara mengatasi yang berkaitan dengan learning disfunctions.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Learning Disfunctions
Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, atau gangguan psikologis lainnya. Gangguan belajar ini berupa gejala proses belajar yang tidak berfungsi dengan baik karena adanya gangguan syaraf otak sehingga terjadinya gangguan pada salah satu tahap dalam proses belajarnya. Kondisi semacam ini mengganggu kelancaran proses belajar secara keseluruhan.

2.2 Ciri – ciri Tingkah Laku Learning Disfunctions
Ciri-ciri tingkah laku yang merupakan manifestasi dari kesulitan belajar dari Learning disfunction, antara lain:
1.      Hasil belajar yang rendah, dibawah rata-rata dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
2.      Lambat dalam melaksanakan tugas kegiatan belajar (akademik) dan perkembangan (development).
3.      Menunjukkan sikap (personality), tingkah laku, cara pikir dan gejala emosional yang kurang wajar dalam proses belajar.
4.      Tidak setara antara IQ dan prestasi atau antara prestasi kecakapan (kepandaian) dengan hasil perfect yang mestinya dicapai.

2.3 Gejala Learning Disfunctions
Gejala Beberapa peilaku yang merupakan manisfestasi gejala kesulitan belajar untuk learning disfunctions, antara lain:
1.      Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau dibawah potensi yang dimilikinya.
2.      Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa yang sudah berusaha giat belajar, tapi nilai yang diperolehnya selalu rendah.
3.      Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan.
4.      Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya.
5.      Menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya.
6.      Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti: pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.
Sementara itu, Burton (Abin Syamsuddin. 2003) mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar, yang ditunjukkan oleh adanya kegagalan siswa dalam mencapai tujuan-tujuan belajar. Menurut dia bahwa siswa dikatakan gagal dalam belajar apabila :
1.      Dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery level) minimal dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion reference).
2.      Tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam under achiever.
3.      Tidak berhasil tingkat penguasaan materi (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam slow learner atau belum matang (immature), sehingga harus menjadi pengulang (repeater)
Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai siswa yang mengalami kesulitan belajar, maka diperlukan kriteria sebagai batas atau patokan, sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana siswa dapat diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Terdapat empat ukuran yang dapat menentukan kegagalan atau kemajuan belajar siswa: (1) tujuan pendidikan; (2) kedudukan dalam kelompok; (3) tingkat pencapaian hasil belajar dibandinngkan dengan potensi; dan (4) kepribadian.
a.       Tujuan pendidikan
Dalam keseluruhan sistem pendidikan, tujuan pendidikan merupakan salah satu komponen pendidikan yang penting, karena akan memberikan arah proses kegiatan pendidikan. Segenap kegiatan pendidikan atau kegiatan pembelajaran diarahkan guna mencapai tujuan pembelajaran. Siswa yang dapat mencapai target tujuan-tujuan tersebut dapat dianggap sebagai siswa yang berhasil. Sedangkan, apabila siswa tidak mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut dapat dikatakan mengalami kesulitan belajar. Untuk menandai mereka yang mendapat hambatan pencapaian tujuan pembelajaran, maka sebelum proses belajar dimulai, tujuan harus dirumuskan secara jelas dan operasional. Selanjutnya, hasil belajar yang dicapai dijadikan sebagai tingkat pencapaian tujuan tersebut. Secara statistik, berdasarkan distribusi normal, seseorang dikatakan berhasil jika siswa telah dapat menguasai sekurang-kurangnya 60% dari seluruh tujuan yang harus dicapai. Namun jika menggunakan konsep pembelajaran tuntas (mastery learning) dengan menggunakan penilaian acuan patokan, seseorang dikatakan telah berhasil dalam belajar apabila telah menguasai standar minimal ketuntasan yang telah ditentukan sebelumnya atau sekarang lazim disebut Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Sebaliknya, jika penguasaan ketuntasan di bawah kriteria minimal maka siswa tersebut dikatakan mengalami kegagalan dalam belajar. Teknik yang dapat digunakan ialah dengan cara menganalisis prestasi belajar dalam bentuk nilai hasil belajar.
b.      Kedudukan dalam Kelompok
Kedudukan seorang siswa dalam kelompoknya akan menjadi ukuran dalam pencapaian hasil belajarnya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila memperoleh prestasi belajar di bawah prestasi rata-rata kelompok secara keseluruhan. Misalnya, rata-rata prestasi belajar kelompok 8, siswa yang mendapat nilai di bawah angka 8, diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Dengan demikian, nilai yang dicapai seorang akan memberikan arti yang lebih jelas setelah dibandingkan dengan prestasi yang lain dalam kelompoknya. Dengan norma ini, guru akan dapat menandai siswa-siswa yang diperkirakan mendapat kesulitan belajar, yaitu siswa yang mendapat prestasi di bawah prestasi kelompok secara keseluruhan. Secara statistik, mereka yang diperkirakan mengalami kesulitan adalah mereka yang menduduki 25 % di bawah urutan kelompok, yang biasa disebut dengan lower group. Dengan teknik ini, kita mengurutkan siswa berdasarkan nilai nilai yang dicapainya. dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah, sehingga siswa mendapat nomor urut prestasi (ranking). Mereka yang menduduki posisi 25 % di bawah diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Teknik lain ialah dengan membandingkan prestasi belajar setiap siswa dengan prestasi rata-rata kelompok. Siswa yang mendapat prestasi di bawah rata – rata kelompok diperkirakan pula mengalami kesulitan belajar.
c.       Perbandingan antara potensi dan prestasi
Prestasi belajar yang dicapai seorang siswa akan tergantung dari tingkat potensinya, baik yang berupa kecerdasan maupun bakat. Siswa yang berpotensi tinggi cenderung dan seyogyanya dapat memperoleh prestasi belajar yang tinggi pula. Sebaliknya, siswa yang memiliki potensi yang rendah cenderung untuk memperoleh prestasi belajar yang rendah pula. Dengan membandingkan antara potensi dengan prestasi belajar yang dicapainya kita dapat memperkirakan sampai sejauhmana dapat merealisasikan potensi yang dimikinya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila prestasi yang dicapainya tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Misalkan, seorang siswa setelah mengikuti pemeriksaan psikologis diketahui memiliki tingkat kecerdasan (IQ) sebesar 120, termasuk kategori cerdas dalam skala Simon & Binnet. Namun ternyata hasil belajarnya hanya mendapat nilai angka 6, yang seharusnya dengan tingkat kecerdasan yang dimikinya dia paling tidak dia bisa memperoleh angka 8. Contoh di atas menggambarkan adanya gejala kesulitan belajar, yang biasa disebut dengan istilah underachiever.
d.      Kepribadian
Hasil belajar yang dicapai oleh seseorang akan tercerminkan dalam seluruh kepribadiannya. Setiap proses belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam aspek kepribadian. Siswa yang berhasil dalam belajar akan menunjukkan pola-pola kepribadian tertentu, sesuai dengan tujuan yang tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Siswa diakatan mengalami kesulitan belajar, apabila menunjukkan pola-pola perilaku atau kepribadian yang menyimpang dari seharusnya, seperti : acuh tak acuh, melalaikan tugas, sering membolos, menentang, isolated, motivasi lemah, emosi yang tidak seimbang dan sebagainya.


2.4 Dampak Learning Disfunctions
Masalah Kesulitan belajar learning disfunction memiliki dampak pada beberapa aspek, seperti:

a.       Pendidikan
Kesulitan belajar learning disfunction berdampak pada masalah pendidikan, yaitu adanya Masing-masing kasus dikenal sebagai anak yang pandai, memiliki pengetahuan umum yang luas, mudah dalam menangkap pelajaran dan cepat dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik yang diberikan, namun disisi lain disamping dikenal memiliki kegagalan khusus dalam membaca atau juga cenderungmemiliki sikap-sikap belajar yang kurang mendukung upaya pencapaian prestasi yang baik seperti: malas, menyepelekan tugas, cepat bosan, kurang memperhatikan pelajaran, akibatnya secara umum prestasinya rendah dibandingkan dengan potensi yang dimilikinya.
b.      Penyesuaian sosial
Secara sosial cenderung kurang mampu menjalin relasi sosial yang memuaskan dengan lingkungannya yang ditandai dengan gejala kurang kooperatif, pendiam, dan menarik diri. Dan mereka tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan secara baik.
c.       Emosional
Secara psikologis memiliki kesenjangan yang cukup signifikan antara skor test kemampuan verbal dan performen, memiliki daya tangkap yang bagus, imajinatif tinggin, cepat dalam menyelesaikan persoalan tetapi cenderung hiperatif,emosional, terburu-buru, kurang pertimbangan, malas, mudah frustasi, serta menolak dengan berbagai alasan.
d.      Kondisi neurologis
Gangguan motorik dan psikologis (gangguan persepsi atau konsentrasi) merupakan faktor dominan yang melatar belakangi munculnya kegagalan dalam penguasaan keterampilan dasar belajar anak yang memiliki kelebihan diatas rata-rata. Akibat kondisi tersebut anak kurang mampu menguasai keterampilan prasyarat belajar akademik yang dibutuhkan. Kondisi tersebut dapat berdiri sendiri-sendiri atau muncul sebagai rangkaian sebab akibat. Tak jarang masalah yang timbul dari learning disfunction pada aspek emosional, yaitu: Tidak bisa mengontrol emosi dengan baik. Tidak dapat mengelola emosi dengan baik. Emosional yang tidak wajar, seperti: pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.
e.       Ekonomi
Masalah yang timbul dari learning disfunction pada aspek ekonomi adalah orang yang kesulitan belajar (learning disfunction) dibawah rata-rata dengan orang yang tidak mengalami kesulitan belajar. Karena kebanyakan orang yang mengalami learning disfunction jarang bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan tepat. Tetapi tak jarang ekonomi orang learning disfunction ini dapat diatas rata-rata orang yang normal jika mereka maupun orang sekitar mereka mengetahui bakat mereka dan mendukung mereka.
Contoh Learning Disfunctions
Beberapa contoh kejadian yang berkaitan dengan learning disfunctions diantaranya :
1.      siswa yang yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.
2.      siswa yang memiliki postur yang tinggi, aletis, dan sangat cocok menjadi atlet sepak bola, namun karena tidak pernah dilatih bermain sepak bola, maka dia tidak dapat menguasai permainan sepak bola dengan baik.

2.5    Cara Mengatasi Learning Disfunctions
Adakalanya jika suatu keadaan memerlukan suatu pemecahan masalah. Dalam mengatasi learning disfunctions diantaranya:
a.       Jangan pernah membandingkan antara satu anak dengan yang lainnya, setiap anak berbeda, baik dari segi kecepatan belajar, gaya belajar, maupun pencapaian hasil atau lain-lain yang berhubungan dengan proses anak menyerap ilmu atau pelajaran yang diberikan.
b.      Rangsang, bukan "ajarkan", anak untuk mengembangkan berbagai aspek kemampuan, terutama kreativitasnya. Persepsikan bahwa sekecil apa pun kreativitasnya adalah hal yang sangat positif, baik buat dirinya maupun lingkungan di sekitarnya.
c.       Tularkan tentang pemahaman-pemahaman moral dan indahnya bersosialisasi di luar lingkup sehari-hari si anak. Ingat, Anda hanya "menularkan", bukan mengajarinya bersosialisasi, saling menghargai, atau menghormati sesama individu. Alhasil, aksi nyata berupa contoh-contoh sikap dan perilaku sangat diperlukan, dan itu semua harus dimulai dari diri Anda sebagai orangtua atau pendidik.
d.      Fokuskan pada proses dan penugasan ketimbang perolehan hasil. Perlu diingat, bahwa hasil yang optimal akan dicapai oleh si anak saat mereka menguasai kemampuan yang memang dibutuhkannya.
e.       Kenali berbagai kebutuhan mereka tersebut lewat aktivitas, hobi, atau kegemarannya. Dari sinilah orangtua atau pendidik mudah mengenali potensi yang dimiliki guna melihat perkembangan yang lebih optimal.
Cara lain dapat di tempuh melalui bimbingan belajar. Bimbingan belajar merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajarnya. Secara umum, prosedur bimbingan belajar dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut
1.        Identifikasi kasus
Identifikasi kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga memerlukan layanan bimbingan belajar. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi siswa yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan belajar, yakni :
a)       Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua siswa secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan.
b)       Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
c)       Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
d)       Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi siswa.
e)       Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial
2.        Identifikasi Masalah
Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan siswa dapat berkenaan dengan aspek : (a) substansial – material; (b) struktural – fungsional; (c) behavioral; dan atau (d) personality. Untuk mengidentifikasi masalah siswa, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah siswa, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi siswa, seputar aspek : (a) jasmani dan kesehatan; (b) diri pribadi; (c) hubungan sosial; (d) ekonomi dan keuangan; (e) karier dan pekerjaan; (f) pendidikan dan pelajaran; (g) agama, nilai dan moral; (h) hubungan muda-mudi; (i) keadaan dan hubungan keluarga; dan (j) waktu senggang.
3.        Diagnosis
Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua bagian faktor – faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar siswa, yaitu : (a) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri siswa itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (b) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.

4.        Prognosis
Langkah ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami siswa masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang kompeten untuk diminta bekerja sama menangani kasus – kasus yang dihadapi.

5.        Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus)
Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau guru pembimbing, pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten.
6.         Evaluasi dan Follow Up
Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi siswa.

BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Masalah belajar merupakan salah satu masalah penting yang timbul pada anak usia sekolah, mencakup masalah yang timbul saat belajar di sekolah maupun di luar sekolah. Salah satunya adalah adanya kesulitan belajar yaitu learning dysfunction. Anak dengan kesulitan belajar mempunyai intelegensi yang bervariasi. Banyak anak dengan Intellegence Quotient (IQ) umumnya normal bahkan tinggi mempunyai prestasi belajar yang rendah. Ini disebabkan oleh banyak faktor seperti motivasi yang kurang, gangguan emosi dan situasi keluarga yang tidak mendukung. Dampak dari learning dysfunctions  ini dapat terjadi di berbagai aspek, diantaranya ; 1) Pendidikan, 2) Penyesuaian Sosial, 3) Emosional, 4) Kondisi Neuologis, 5) Ekonomi. Namun banyak hala juga yang dapat membantu mengatasi learning disfunctions  ini. Jadi pada intinya kesulitan belajar yang di alami oleh siswa, jangan jadikan sebagai gangguan, tetapi cobalah lebih mengenal sisi lain dari siswa tersebut.
3.2    Saran
Makalah ini sangat berguna bagi siapa saja, khususnya siswa/mahasiswa yang mengalami kesulitan belajar dalam bidang learning dsifuntions. Makalah ini juga dapat sangat membantu untuk mahasiswa yang akan menjadi tenaga pengajar nantinya.

DAFTAR PUSTAKA
Soetopo Hendyat. 2005, Pendidikan dan Pembelajaran. Malang : UMM Press

Seri Pemandu Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah,(1995), Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Umum (SMU) Buku IV, Jakarta : IPBI
Siregar Evveline & Nara Hartini. 2010, Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Ghalia Indonesia
Winkel, W.S. (1991), Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta: Gramedia

Don't forget leave comment guys . . . ^_^
 






0 comments:

Post a Comment